Mentalitas Jalan Pintas Masyarakat Indonesia ( Dulu – Sekarang )
Pastinya sudah tau kan berita yang akhir-akhir ini ramai di perbincangkan di tv nasional maupun sosial media tentang penggandaan uang oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi Taat Pajak Dan Rajin Menabung?
Terungkapnya dugaan kasus pembunuhan yang dilakukan Pimpinan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi membuka tabir yang selama ini menutupi padepokan yang dikenal dengan modus penggandaan uang bagi banyak orang itu.
Seperti yang dilansir kabarbromoterkini.com Dua laporan yang masuk ke Polda Jatim datang dari korban asal Kabupaten Bondowoso dan Jember. Korban asal Kabupaten Bondowoso itu melapor ke Polda Jawa Timur, pada Jumat (16/9). Sedangkan, korban asal Kabupaten Jember melapor pada Sabtu (24/9) atau dua hari setelah Dimas Kanjeng dibekuk polisi.
“Sejauh ini, ada tiga korban yang melapor. Satu di Mabes (Polri) dan satu di Polda Jatim,” ujarnya. Kepada polisi, korban asal Bondowoso itu mengaku telah tertipu sekitar Rp 1,5 miliar. Sedangkan, korban asal Jember tertipu sekitarRp 830 juta. Kedua korban ini sama-sama ikut tersangka sejak 2011.
“Mereka menyetor tidak langsung banyak, tapi bertahap. Akhirnya, banyak dan sampai sekarang tidak cair. Katanya, itu sebagai mahar yang nantinya akan berlipat. Itu, sementara dan masih kami dalami,” ujar Argo.
Kasus ini sekarang tengah diusut jajaran Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Pemilik padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Dusun Cengkelek, Desa Wangkal, Probolinggo Jawa Timur itu dilaporkan menipu uang sebesar Rp 25 miliar.
Menurut Sosiolog Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN USU) Dr. Ansari Yamamah, sesungguhnya yang paling rentan menjadi korban penipuan seperti kasus Taat Pribadi ini adalah masyarakat berpendidikan rendah. Mereka sangat mudah terpengaruh dengan ide-ide dan praktik semu dan penuh kebohongan yang dikemas dengan simbol agama, namun faktanya kaum intelektual seperti politikus tersohor Marwah Daud Ibrahim pun terjebak dan terkesan sangat mempercayai Taat Pribadi.
Setiap hari semakin banyak rasanya kita di suguhkan berita-berita yang membuat gerah, saking sering dan seakan-akan tidak masuk akal membuat kita bertanya-tanya apa yang salah dengan bangsa ini? Apa yang keliru dengan masyarakat kita?
Dari kasus diatas dapat kita lihat bahwa masyarakat mempertontonkan “rasa ingin cepat”. Ingin cepat kaya, ingin cepat populer, ingin cepat lulus, tentu dengan modal utamanya mentalitas jalan pintas.
Sejak kapan sebenarnya mentalitas jalan pintas ini menjangkiti masyarakat Indonesia ???
Yuk kita flashback ke belakang...
Dulu ...
Sebelum krisis moneter, suku bunga bank untuk rupiah sekitar 15-20 persen pertahun, sedangkan suku bunga dolar AS hanya sekitar 5-7 persen. Maksudnya adalah agar masyarakat lebih begairah mengembangkan uangnya dalam bentuk rupiah.
Tetapi hasilnya adalah pengusaha menyimpan uangnya dalam rupiah, tetapi meminjam uang dalam dolar. Selisih suku bunga yang besar, memberi keuntungan yang besar pula pada si pengusaha. Akibatnya, ketika nilai tukar dolar meonjak drastis, para pengusaha tiba-tiba bangkrut semua. Pengusaha lebih suka jalan pintas.
Mahasiswa menuntut reformasi. Tetapi secepat mungkin. Kalau bisa hari ini juga harga-harga sembako turun dan pemerintah diganti. Sebagian dari ereka menolak dialog (dengan alasan cuma buang-buang waktu dan tidak efektif). Yang efektif adalah kalau pemerintah diganti, sembako otomatis turun. Akibatnya, malah mahasiswa bentrok dengan ABRI dan sembako tidak juga turun harganya. Mahasiswa pun lebih suka memilih jalan pintas.
Hingga sekarang ...
Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat kaya seperti dalam sektor agrobisnis. Komoditas agrobisnis paling sedikit mengandung komponen impor dan punya peluang ekspor yang cukup besar. Seperti di kampus tetangganya Depok, IPB ternyata mempunyai banyak jenis bibit unggul dari berbagai komoditas agrobisnis sebagai hasil riset mereka mulai dari cabe, bawang, sampai kentang. Tetapi semuanya itu tidak dikembangkan di lapangan, apalagi untuk ekspor besar-besaran, karena ketiadaan dana.
Masalahnya, investasi dalam sektor agrobisnis memerlukan waktu dan kesabaran sampai bisa membuahkan keuntungan, sehingga tidak ada konglomerat yang berminat untuk menanamkan modalnya dalam bidang ini. Konglomerat lebih suka mengimpor kedelai (yang murah dan cepat menghasilkan keuntungan) ketimbang mengembangkan pertanian dan petani kedelai. Akibatnya, kalau sekarang ada yang mau bisnis kedelai besar-besaran, tidak ada petani yang siap dan lahan pertanian yang cukup. Konglomerat lebih suka jalan pintas.
Dalam bidang pelajar dan mahasiswa, sudah menjadi rahasia umum bahwa pelajar, mahasiswa, bahkan dosen pun menyontek, melakukan plagiat, dan membeli ijazah aspal. Maksudnya adaah agar cepat maju, cepat menanjak dalam karier, dan sebagainya. Bahkan ada pejabat dan ada juga peneliti yang tiba-tiba ingin jadi profesor, seakan-akan mereka sudah bekerja bertahun-tahun sebagai dosen.
Akibatnya, gelar sarjana, master, doktor, maupun sebutan profesor, turun derajatnya dan sulit di bedakan mana yang sarjana atau profesor beneran dan mana yang gadungan. Kaum intelektual lebih suka jalan pintas.
Pada bulan-bulan Januari-Mei, para psikolog kebanjiran siswa SMA yang ingin tes bakat. Mereka ingin tahu, sebaiknya melanjutkan ke fakultas atau jurusan apa, agar setelah lulus SMA tidak salah pilih. Dewasa ini, banyak para pelajar tersebut yang akan memilih bidang manajemen. Alasannya, cepat dapat kerja, gaji besar, naik mobil, mengatur orang, jadi bos. Kalau semuanya mau jadi manajer, siapa yang mau jadi ahli las, ahli beton, ahli kehutanan, penerjemah, sekretaris? Orang-orang asinglah yang mengisi pekerjaan itu. Pelajar lebih suka jalan pintas.
Seperti yang di ungkapkan oleh Prof. Dr. Sarlito (Psikologi dalam Praktek), psikolog pada umumnya mengenal tes EPPS (Edward’s Personal Preference Test). Alat tes tersebut mengukur 15 macam kebutuhan manusia dan biasa dipergunakan dalam berbagai keperluan pemeriksaan psikologik. Dari pengalaman beliau menggunakan alat tes itu sejumlah besar manusia Indonesia ( pelajar, karyawan, wanita, pencari kerja, dsb ) yang paling menonjol adalah kebutuhan untuk menampilkan diri. Tetapi yang paling rendah adalah daya tahan (endurance) untuk berusaha dalam jangka panjang. Orang Indonesia ternyata lebih suka memilih jalan pintas.
Pemerintah semestinya menyadari betul bahwa kemiskinan yang sedang dialami masyarakat, berpotensi membawa mereka ke hal-hal yang instan dan mistik. “Dalam kondisi miskin, masyarakat mudah terpengaruh dengan segala hal,” ujar Sosiolog Dr. Ansari Yamamah dalam beritasore.com
Kondisi ekonomi juga ikut memicu masyarakat mudah terbuai oleh hal-hal yang magic, disamping pengaruh dari pemikiran kapitalis, membuat banyak orang yang berpikir instan, bagaimana cara mendatangkan keuntungan secara cepat.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, tetapi ternyata dia belum juga pulih dari krisis moneternya. Semua menderita, semua merana.
Penyebabnya; mentalitas jalan pintas
Referensi :
http://www.kabarbromoterkini.com/2016/09/29/tiga-orang-lapor-jadi-korban-penipuan-dimas-kanjeng/
http://nasional.kompas.com/read/2016/09/29/09225221/marwah.daud.dimas.kanjeng.punya.ilmu.pindahkan.uang.atau.tiba-tiba.ada.peti.isi.uang
http://beritasore.com/2016/10/05/kasus-dimas-kanjeng-bukti-masyarakat-percaya-hal-semu/
Prof. Dr. Sarlito. W. Sarwono (2003). Psikologi dalam praktek. Dr. Kaelany. HD., Ma. Jakarta: Restu Agung.