Hubungan antara Kesehatan Mental dengan Religius
Definisi Kesehatan Mental Federasi Kesehatan Mental Dunia (World Federation for Mental Health) merumuskan pengertian kesehatan mental sebagai berikut.
Kesehatan mental sebagai kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan yang optimal baik secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan orang lain.
Sebuah masyarakat yang baik adalah masyarakat yang membolehkan perkembangan ini pada anggota masyarakatnya selain pada saat yang sama menjamin dirinya berkembang dan toleran terhadap masyarakat yang lain.
Dalam konteks Federasi Kesehatan Mental Dunia ini jelas bahwa kesehatan mental itu tidak cukup dalam pandangan individual belaka tetapi sekaligus mendapatkan dukungan dari masyarakatnya untuk berkembang secara optimal
.Prinsip-prinsip pengertian kesehatan mental adalah sebagai berikut:
Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal. Prinsip ini menegaskan bahwa yang dikatakan sehat mentalnya tidak cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak mengalami abnormalitas atau orang yang normal.Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan pemahaman normalitas itu.
Konsep kesehatan mental lebih bermakna positif daripada makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana konsep statistik.Kesehatan mental adalah konsep yang ideal. Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat kontinu.Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling optimal dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setinggi-tingginya.
Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup. Prinsip ini menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang salah satunya ditunjukkan oleh kesehatan mentalnya. Tidak mungkin membiarkan kesehatan mental seseorang untuk mencapai kualitas hidupnya, atau sebaliknya kualitas hidup seseorang dapat dikatakan meningkat jika juga terjadi peningkatan kesehatan mentalnya.
Definisi Religiusitas Ada beberapa istilah untuk menyebutkan agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio/relegare (Latin), dan dien (Arab). Kata religion (Inggris) dan religie (Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat (Kahmad, 2002). Menurut Cicero (Ismail, 1997), relegare berarti melakukan sesuatu perbuatan dengan penuh penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap. Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al-tadzallul wa al-khudu (tunduk dan patuh), al-tha’at(taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan) (Kahmad, 2002). Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Meski berakar kata sama, namun dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama. Kalau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya, 1982). Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam (Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, 2002). Hawari (1996) menyebutkan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci. Ancok dan suroso (2001) mendefinisikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan. Berdasarkan uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa religiusitas adalah kedalaman penghayatan keagamaan seseorang dan keyakinannya terhadap adanya tuhan yang diwujudkan dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan dengan kaiklasan hati dan dengan seluruh jiwa dan raga. Hubungan antara Kesehatan Mental dengan Religiusitas Dalam bidang psikologi agama, Wiliam James menulis buku yang sangat fenomenal yaitu The Varieties Of Religious Experience. James membagi ada dua tipe keberagamaan, yaitu the healthy mindeddan the sick soul (lihat Wulff, 1991, Jalaludin, 2007). Kedua tipe ini pada dasarnya merupakan predisposisi kepribadian seseorang untuk melihat dunia sesuai dengan persepsi mereka, sehingga akan berpengaruh terhadap cara pandang keberagamaan mereka. Dari beberapa uraian tentang teori Wiliam James ini (Wulff, 1991, James, 2003, jalaludin, 2007) penulis menyimpulkan bahwa orang yang memiliki the healthy-minded (jiwa yang sehat) secara kognitif memiliki cenderung melihat segala sesuatu disekitarnya sebagai sesuatu yang baik dan selalu optimis melihat masa depan. Jika menghadapi suatu permasalahan dalam kehidupan, dia selalu melihat sisi positif dari masalah itu sebagai pengayaan dan kematangan jiwa mereka, serta senantiasa mempunyai harapan bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan melalui jalan yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Secara afektif emosional orang memiliki keberagamaan healthy-mind senantiasa merasa gembira dan bahagia. Dalam beragama mereka senantiasa menerapkan prinsip kebersyukuran. Ketika mendapatkan sesuatu yang baik dia akan berterimakasih dan meningkatkan pengabdiannya kepada Tuhan. Ketika mendaptkan musibah, maka dia akan rela menerimanya sebagai bagian dari dirinya dan bersabar dalam menjalaninya. Mereka selalu yakin bahwa Tuhan senantiasa mendengarkan dan mengabulkan doany, meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginannya. Ini bukan berarti dia tidak merasakan kesedihan, namun kondisi ini biasanya bersifat temporer dan tidak sampai menguasai kehidupan mereka. Mereka memandang Tuhan penuh dengan rahmat, kasih sayang dan selalu mengampuni dosa-dosa dan banyak memberikan pahala. Dalam hubungan dengan orang lain, orang dengan healthy-mind cenderung bersikap terbuka. Mereka adalah orang yang ekstravet, beriorientasi ke luar yang dapat menerima pandangan dan pemikiran keberagamaan dari orang lain. Baik yang seagama namun berbeda kelompok, maupun dengan orang yang berbeda agama. Mereka dapat menghargai keyakinan orang lain, tanpa harus saling mencampuri urusan dalam agama masing-masing. Selain itu orang healthy mind dalam beragama akan mengembangkan keikhlasan dalam memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang lain. Mereka banyak mengorbankan kepentingannya sendiri untuk orang lain dan agamanaya. Kebalikan dari penjelasan diatas adalah orang yang memiliki tipe beragama the sick-soul (jiwa yang sakit). Secara kognitif mereka lebih mengembangkan sikap pesimis, yaitu selalu melihaat sisi negatif dan memandang segala sesuatu. Jika menghadapi sesuatu masalah dia akan memandang hal itu sebagai balasan dari dosanya yang telah dilaksanakan. Akibatnya secara emosional dia akan didominasi oleh rasa sedih, merasa penuh dosa yang tidak terampuni. Mereka menggambarkan sosok Tuhan dari sisi yang memberi hukuman, yang keras balasannya, tapi tidak melihat bahwa Tuhan jugga memiliki kasih sayang dan ampunan yang besar. Secara pribadi mereka lebih bersifat introvert, beriorientasi pada diri sendiri dan tertutup. Demikian juga dari pandangan teologis mereka bersifat tertutup. Mereka melihat bahwa hanya pandangan keberagamaan dirinya dan kelompoknya sebagai pandangan yang paling benar dan tidak ada kebenaran sedikitpun pada kelompok orang lain. Mereka cenderung menyalahkan orang dengan pandangan berbeda. Akibatnya mereka lebih ekslusif dalam beragama dan tidak mau bergaul dengan orang lain yang memiliki faham yang berbeda . Tipe beragama dalam teori Wiliam james kemungkinan ada kaitannya dengan latar belakang kehidupan masing-masing individu. Orang yang berkembang dalam lingkup kehidupan beragama yang sehat akan mempengaruhi kepribadian yang sehat dan selanjutnya individu tersebut akan mengembangkan tipe healthy mind. Sebaliknya tipe beragama the sick-soul kemungkinan besar memiliki latar belakang kehidupan keagamaan atau kepribadian yang tidak sehat. Mereka memiliki konflik batin yang tidak terselesaikan yang mempengaruhi kehidupan mereka secara tidak sadar, sehingga mereka bersikap pesimis dan melihat sisi negatif dari kehidupan beragama. Jadi dapat disimpulkan orang yang berkembang dalam lingkungan keluarga yang beragama yang sehat akan berpengaruh terhadap jiwanya yang sehat (healthy mind) atau sehat mentalnya. Sebaliknya, orang yang dari latar belakang kehidupannya tidak beragama cenderung akan mengalami kepribadian yang tidak sehat (sick soul) yang menyebabkan penyakit-penyakit mental bermunculan. Referensi : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23357/4/Chapter%20II.pdf Subandi, M. A. 2013. Psikologi Agama & Kesehatan Mental. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jalaludin. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: Rajja Grafindo http://eprints.iainsalatiga.ac.id/190/1