Filsafat Hukum (bagian 2 : Filsafat, Hukum dan Filsafat Hukum)
A. Apa itu Filsafat Filsafat pada awalnya dikenal pada kisaran tahun 700 sm di yunani, Filsafat dalam bahasa yunani disebut philospohia yang terdiri dari dua suku kata dari philos & sophos. Philos diartikan sebagai cinta persahabatan, sedangkan sophos berarti Hikmah, Kebijaksanaa, Pengetahuan, Keterampilan, Pengalaman Praktis & Intelegensia. oleh karena itu Philosophia dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Menurut Soemardi Soerjabrata, Philosophos harus mempunyai pengetahuan luas sebagai pengejewantahan dari pada kecintaannya akan kebenaran dan mulai benar-benar jelas digunakan pada masa kaum sofis & socrates yang memberikan arti kata "Philosaphien" sebagai penguasaan secara sistematis terhadap pengetahuan teoritis. Menurut Hatta, Alangkah baik untuk tidak memberikan pengertian tentang filsafat, biarlah orang tersebut mempelajari filsafat terlebih dahulu & setelah orang itu mengerti maka dengan sendirinya ia akan memberikan pengertian apa itu filsafat.
Dalam pandangan Pytagoras, Manusia dapat dibagi kedalam 3 tipe yaitu Mereka yang Mencintai Kesenangan, Kegiatan & Kebijaksanaan. Dalam pandangan Plato, Yang menekankan pada objek filsafat bahwa objek filsafat ialah penemuan kenyataan/kebenaran mutlak yang diperoleh melalui proses dialetika Dalam pandangan Aristoteles, Memfokuskan bahwa Filsafat berurusan dengan penelitian Sebab-sebab & Peristiwa segala sesuatu Dalam pandangan Deskrates, Filsafat diuraikan sebagai bentuk perbentangan & penyikapan kebenaran terakhir, dalam hal ini menjadika keraguan sebagai titik tolak awal dalam menentukan eksistensi diri Dalam pandangan Alfaribi, ia mengatakan bahwa Filsafat adalah ilmu tentang Alam yang maujud & bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya Dalam pandangan Immanuel Kant, Filsafat adalah ilmu dasar segala pengetahuan yang mencakup didalamnya 4 persoalan yaitu : 1. Apakah yang dapat kita ketahui (dijawab oleh Meta Fisika) 2. Apakah yang boleh kita kerjakan (dijawab oleh Norma & Etika) 3. Sampai dimanakah pengharapan kita (dijawab oleh Agama) 4. Apakah yang dinamakan Manusia (dijawab oleh Antropolog) sebagai pembanding dan bahan pelengkappengertian yang telah disebutkan, berikut pendapat bebrapa ahli di Indonesia. Menurut Poedjawijatna, Filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Menurut Habullah Bakri menyatakana bahwa filsfat digambarkan sebagai jenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam tentang ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu. berangkat pada pengertian filsafat di atas, pertanyaan yang kemudian muncul apakah filsafat memiliki metode. menurut Mohammad Noor Syam, mtode yang dapat ditempuh dalam memaparkan filsfat, yakni: * Proses Kontemplatif Proses Kontemplatif (perenungan) perenungan dalam epistomologi modern digambarkan sebagai pengetahuan dari suatu objek, yang berlawanan dengan menikmati, melainkan sebagai kesadaran jiwa ke arah kesadaran diri sendiri. Merenung adalah suatu cara yang sesuai dengan watak filsafat, yaitu memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya. tentunya proses perenungan yang dilakukan tidaklah dalam waktu sesaat, akan tetapi membutuhkan waktu yang lama dengan dukungan lingkungan yang tenang. * Proses Spekulatif Spekulatif dalam konteks filsafat pada hakikatnya memiliki arti yang sama dan/atau hampir sama dengan kontemplatif. oleh karena itu, perenungan yang dilakukan diharapkan dapat bermuara tidak hanya pada objek yang tak terbatas, melainkan juga tujuan yang hendak dicapai yakni mengerti hakikat sesuatu. Mengerti hakikat sesuatu, berarti menyelami sesuatu secara mendalam yang dapat dicapai dengan pikiran yang tenang, kritis dan pikiran murni. * Proses Deduktif Berpikir dan penyelidikan ilmiah umumnya menggunakan metode induktif. Adapun filsafat berdasarkan objek dan ruang lingkup menggunakan metode deduktif. dalam hal ini, proses penemuan filsafati dimulai dengan memahami realita yang bersifat umum, guna mendapatkan kesimpulan-kesimpulan tertentu yang khusus. B. Apa itu Hukum Hukum Merupakan suatu kesengajaan dalam kesederhanaan untuk memahami secara utuh hukum itu sendiri. Jika yang pertama-tama muncul sebagai hukum ialah hukum yang berlaku dalam sebuah negara, maka hukum yang dimaksud adalah hukum positif. dalam konteks ini, penetapan oleh pemimpin yang sah dalam negara dianggap asal mula adanya huku. kalau seorang ahli hukum bicara mengenai hukum biasanya ia memaksudkan hukum ini. Lalu, bagaimana jika rakyat bicara mengenai hukum. Ketika rakyat mencari hukum, berarti rakyat menuntut supaya hidup bersama dalam masyarakat diatur secara adil. Dalam hal ini, Rakyat lebih melihat dalam tatanan norma yang memiliki kedudukan tinggi dari undang-undang. Sehingga dalam mengesahkan tuntutan dari rakyat tidak perlu diketahui apa yang terkandung dalam undang-undang Negara. Rakyat meminta supaya tindkakan tindakan yang diambil adalah sesuai dengan norma yang lebih tinggi dari pada norma hukum dalam undang undang. Noma yang lebih tinggi itu dapat disamakan dengan prinsip prinsip keadilan. Diktomi di antara dua subjek dalam melihat pendekatan hukum yang diadopsi dan diambil oleh keduanya tentunya memiliki perbedaan yang sangat nyata. lantas pertanyaannya adalah mungkinkah kedua hukum tersebut dipisahkan? pertama-tama Hukum positif secara terpisah dari prinsip prinsip keadilan. Kemudian kita akan melihat pula arti suatu hukum lepas dari hukum positif. Seandainya hukum lepas dari norma-norma keadilan kemungkinan ada bahwa hukum yang ditetapkan adalah hukum yang tidak adil. apakah hukum yang tidak adil memiliki kekuatan hukum? untuk mengerti apakah hukum yang sebenarnya perlu diketahui, apakah makna hukum. Menurut tanggapan umum makna hukum ialah mewujudkan keadilan dalam hidup bersama manusia. makna ini dicapai dengan dimasukannya prinsip-prinsip keadilan dalam peraturan-peraturan bagi kehidupan bersama. maka menurut pandangan orang hukum yang sebenarnya adalah hukum positif yang merupakan suatu realisasi dari prinsip prinsip keadilan. Ketika hukum positif diuraikan dalam koridor prinsip-prinsip keadilan,maka harus diakuibahwa orang yang menggunakan metode empiris memiliki pandangan yangberbeda atau mungkin juga dengan segala keterbatasan, mereka tidak sampai pada pandangan ini. Mereka mendapat pengertian tentang hukum dari apa yang terjadi dalam pembentukan hukum dalam undang-undang. dengan ini mereka memastikan bahwa hukum berasal dari suatu pemerintah yang sah dalam suatu negara yang berdaulat. Pemerintah itu meneliti situasi, melihat kebutuhan akan peraturan-peraturan tertentu, lalu mengesahkan peraturan itu. Dapa dipastikan juga bahwa pembuatan peraturan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. sudah barang tentu situasi historis dan politik suatu masyarakat terlebih dahulu menjadi dasar pertmbangan. Kemudian juga Ideologi negara dapat menjadi petunjuk dalam membentuk undang-undang. mungkin juga kepentingan pribadi atau nafsu kekuasaan ikut menentukan isi undang-undang. tetapi pengertian tentang hukum sebagai norma suatu hidup bersama yang adil tidak masuk pertimbangan mereka. Walaupun taggapan hukum sebagai aturan yang adil tidak diperoleh melalui penyelidikan ilmiah, pada orang tetap ada keyakinan bahwa hukum ada hubungan dengan yang seharusnya. Dalam hati manusia hiduplah keinsafan keadilan yang membawa orang kepada suatu penilaian faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan hukum. dengan demikian, orang-orang membedakan antara suatu ideologi yang baik dan yang jahat, antara tindakan yang diambi demi kepentingan pribadi dan tindakan demi kepentingan umum. suatu tindakan yang tidak adil umumnya tidak dianggap sebagai tindakan hukum. Keinsafan keadilan dalam hubungan dengan hukum tidak hanya dimiliki oleh rakyat. yang berkuasa dalam negara juga sadar tentang perlunya keadilan. karena kesadaran ini para penguasapolitik sekuat tenaga berusaha untuk mengesahkan tindakan-tindakannya seakan-akan tindakan itu ssuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Untuk tujuan ini para penguasa politik sekuat tenaga berusaha untuk mengasahkan tindakan-tndakannya seakan-akan tindakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. untuk tujuan ini kadang-kadang prinsip-prinsip keadilan dipalsukan dengan membuat sloga-slogan yang menipu orang. Slogan-slogan ini ditimba dari sejarah atau semangat hidup rakyat. Umpamanya Nazi-Jerman suatu teori darah dan tanah (Blit undBoden) disusun untuk mengesahkan pembunuhan enam juta orang yahudi. prinsip nasib historis digunakan untuk mengesahkan perang. tetapi semboyan-semboyan ini sebenarnya hanya usaha untuk mengubah makna tindakan yang tidak adil supaya itanggapi sebagai adil. Inilah suati bukti bahwa semua orang beranggapan bahwa keadilan termaksud arti hukum. Kadang-kadang terjadi bahwa undang-undang yang dahulu cocok dengan situasi masyarakat karena perkembangan sosial makin menjauhkan diri dari rasa keadilan yang hidup dalam hati orang. atau juga terjadi bahwa para penguasa mempunyai niat yang sungguh-sungguh untuk membuat undang-undang yang adil, tetapi usaha ini gagal. pada kenyataannya undang-undang ditaati pada permulaan. tetapi sesudah beberapa waktu, jurang antara hukum positif dan prinsip-prinsip keadilan menjadi nyata. Akibatnya, peraturan peraturan yang ditentukan kehilangan artinya sebagai hukum dam mungkin tidak ditaati lagi. Bila perkembangan semacam ini cukup disadari oleh orang orang yang menetapkan hukum mereka itu akan menyetujui bahwa hukum positif menjadi "huruf yang mati". Inilah suatu tanda bahwa baik pihak rakyat maupun pihak yang berkuasa hanya mengakui hukum sebagai hukum, bila hukum itu sungguh-sungguh tergabung denga prinsip-prinsip keadilan. Hukum yang dipandang sebagai hukum hanya jika tidak menentang keadilan, Konsekuensinya ialah peraturan yang tidak adil bukanlah hukum yang sebenarnya. Oleh karena itu, kalau suatu peraturan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum maka peraturan ini tidak wajib lagi dan dan karenanya tidak boleh ditaati. Apakah konsekuensi ini dapat dipertahankan di hadapan suatu pemerintah yang berkuasa yang mengesahkan peraturan semacam itu? dengan kata lain : apakah pemberontakan terhadap pemerintahan diizinkan tiap-tiap kali suatu peraturan yang tidak adil ditentukan? Dalam hal ini, kiranya pertimbangan Thomas Aquinas cukup bijaksana. Menurut pendapatnya pemberontakan terhadap tata hukum yang tidak adil sering kali tidak diizinkan karena bahaya huru-hara dan anarki. Walaupun demikian, tetap benar juga bahwa hukum yang tidak adil kehilangan Artinya sebagai hukum, sekalipun peraturan-peraturannya ditaati terus. Di sini motif ketaatan sudah berlainan. Peraturan ini tidak ditaati oleh karena memiliki ketaatan hukum, tetapi oleh karena orang yang menetapkannya adalah orang yang berkuasa. Dengan ini perbedaan antara hukum dan kekuasaan telah hilang. Bila Keadilan begitu penting dalam menentukan arti hukum, mengapa kaum juris menitikberatkan segi positif hukum dan sering kali melalaikan segi keadilan? hal ini dapat dimengerti oleh karena dalam praktik sering kali sulit dibedakan antara hukum yang adil dan hukum yang tidak adil. Kaum yuris yang mempelajari masalah hukum kurang senang dengan ketidakpastian ini. Apa yang perlu menurut mereka adalah pertama-tama kepastian. Hukum harus pasti (cerum), supaya dapat menjalankan fungsinya, yakni menjamin aturan hidup bersama dan menghindarkan timbulnya kekacauan. Kepastian hukum dicapai melalui suatu perundang-undangan yang mengatur seluruh hidup bersama sampai detail-detailnya. Tentu saja ideal kaum yuris ini tidak pernah tercapai, akan tetapi hal ini tidak membuktikan kesia-siaannya. Namun dengan tetap menerima bahwa kepastian hukum ada nilainya, kami berkeyakinan bahwa hukum pertama-tama harus benar (verum), yakni harus adil. Hukum positif menjamin kepastian hidup, tetapi menjadi lengkap bila disusun sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. kriterium yang digunakan di sini adalah bahwa prinsip-prinsip keadilan itu hanya dapat dipandang sebagai hukum yang sungguh-sungguh bila mereka dapat bekerja secara efektif dala, mengatur hidup bersama manusia yang kongkret. Oleh karena itu, keadilan apabila belum diinstitusionalisasi dalam peraturan-peraturan maka tidak dapat di bilang sebagai pedoman hukum. C.FILSAFAT HUKUM Sesuai dengan pengertian filsafat dan hukum sebagaimana di atas, maka menarik kemudian untuk menganalisis bagaimana filsafat dan hukum bersinergi sehingga menghasilkan Filsafat Hukum. Istilah filsafat hukum memiliki sinonim dengan legal philosophy, philosophy of law, atau rechts filosofie. pengertian filsafat hukum pun ada berbagai pendapat. Ada yang mengatakan filsafat hukum adalah ilmu, ada yang mengatakan filsafat teoritirs, ada yang berpendapat sebagai filsafat terapan dan filsafat praktis, ada yang mengatakan subspesies dari filsafat etika, dan lain sebagainya. Peninoniman istilah di atas menimbulkan komentar yang lahir dari beberapa pakar. penggunaan istilah legal philosophy misalnya dirasakan tidak sesuai atau tidak sepadan dengan filsafat hukum. menurut mochtar kusumaatmadja, istilah filsafat hukum lebih sesuai jika di sinonimkan dengan philosophy of law atau rechts filosofie. ha ini dikarenakan istilah legal dari legal philosophy sama dengan undang-undang resmi, jadi tidak tepat disinonimkan dengan filsafat hukum. Secara sederhana filsafat hukum dapat dikatakan sebagai cabang filsafat yang mengatur tingkah laku atau etika yang mempelajari hakekat hukum. dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.
Berangkat pada bagan di atas, maka dapat diuraikan sebagai berikut :
Filsafat Logika : Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.
Filsafat Teoritis : dalam cabang ini mencakup tiga ilmu, yaitu :
Fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini.
Matematika yang mempersoalkan benda-benda alam dalam kuantitasnya
Metafisika yang mempersoalkan tentang hakikat segala sesuatu ilmu metafisika
Filsafat Praktis : dalam cabang ini tercakup tiga macam ilmu, yakni :
Etika yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorangan.
Ekonomi yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam keluarga
Politik yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam negara
Filsafat Poetika : Filsafat poetika biasa disebut dengan filsafat estetika. Filsafat ini meliputi kesenian dan sebagainya.
Uraian filsafat Aristoteles, menunjukan bahwa filsafat hukum hadir sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap ketidakmampuan ilmu hukum dalam membentuk dan menegakkan kaidah dan putusan hukum sebagai suatu system yang logis dan konseptual. Oleh karena itu, filsafat hukum merupakan alternative yang dipandang tepat untuk memperoleh solusi yang tepat terhadap permasalahan hukum. Judul Buku : Filsafat Hukum Teori dan Praktik Penulis : Prof. Dr. Sukarno Aburaera, SH, M.Si Prof. Dr. Muhadar, SH. M.Si Maskun, SH. LL.M
Menurut Aristoteles, kedudukan filsafat hukum dapat
dilihat pada bagian berikut: