top of page

Remaja doyan nonton, Penting gak sih?



Bejo : udah nonton the lord of the rings yang ketiga belom lu? Adul : belom sempet,kemaren baru nonton the last samurai. Emangnya kenapa jo? Bejo : gua udah tiga kali man! Gila tuh film...dalem banget Adul : (dasar.. movie buff..) oh ya? The last samurai juga asik lho! Belom pernah ngelihat Tom Cruise jihad kan? Sari : Alaaaah .. mau aja kalian dibohongi sama film! Nonton film nggak ada manfaatnya. Banyak jeleknya! Buang-buang waktu, bikin males ngerjain tugas dan kewajiban. Ti atiii otak kalian dicuci sama hollywood ! Begitulah. Film begitu digandrungi dan menjadi keseharian anak gaul alias remaja. Dalam film 30 hari mencari cinta misalnya,ketiga cewek yang jadi tokoh utama , menangis tersedu-sedu melihat Titanic dan menyatakan bahwa film itu sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka. Tetapi ada juga yang mewaspadainya,bahkan mengharamkan film dan televisi. Bagaimanapun , film sudah menjadi suatu fenomena terbesar dalam budaya pop diseluruh dunia, termasuk Indonesia.


Bioskop sudah menjadi keseharian yang lumrah dalam kehidupan anak gaul. Sementara televisi adalah kotak ajaib yang dilihat oleh remaja dirumahnya-----hampir disemua rumah dan ruang publik lainnya,kotak ajaib itu menjadi bagian yang dianggap penting bagi sebagian remaja. Di Amerika,tadinya hanya ada tiga stasiun televisi yang mendominasi siaran, yaitu CBS,ABC, dan NBC. Kini, dari catatan pada 1996, sudah ada 2.227 stasiun televisi,sedangkanInternational Television Associacion ( ITVA ) mempunyai anggota production house diseluruh dunia,lebih dari tiga belas ribu.Sementara di Indonesia ,yang tadinya ada Televisi Republik Indonesia ( TVRI ) yang beridiri sejak 1962,kini sudah memiliki sepuluh stasiun. Televisi benar-benar sudah mewabah dan tidak mungkin bisa dibendung lagi.


Suka atau tidak suka, kita-kita juga banyak yang suka menonton film, baik dibioskop maupun ditelevisi. Iya nggak,sih? Ada yang sukanya biasa aja,ada yang malah jadi gila nonton. Tapi, ada juga yang males dan ogah nonton film dengan berbagai motif, menganggap film sebagai racun dari pemikiran dan menghambat kegiatan positif lainnya, ada juga yang tongpes alias memang tidak ada duit. Hhe.. Tetapi, tidak ada yang bisa menyangkal, film dan televisi adalah sosok yang omnipresent, hadir dimana-mana dan disukai banyak orang. Tontonan yang hadir dalam bentuk layar lebar (dengan bahan baku seluloid 35 mm atau 16 mm), layar televisi, DVD, dan VCD terasa ringan,renyah dibuat secara massal untuk orang banyak, gampang dicerna, dan instan. Tetapi, begitulah fitrah manusia. Semua orang suka hiburan, dan yang terbesar adalah kalangan remaja. Garin Nugroho, salah satu tokoh besar dalam perfilman Indonesia, pernah bilang di MTV bahwa remaja alias anak nongkrong adalah “Raja Penonton” dalam dunia film nasional. Terbukti setiap tontonan yang membidik remaja. Pasti laku keras. Coba saja tengok Eiffel I’m in Love (Nasry Cheppy, 2003), Ada Apa dengan Cinta (Rudy Soedjarwo, 2002), Jelangkung (Jose Purnomo/Rizal Mantovani,2002), dan Tusuk Jelangkung (Dimas Jay,2003). Belum lagi film-film keluaran Hollywood seperti, Harry Potter, Star Wars, Titanic, Trilogi Matrix dan masih banyak lagi. Dalam Mukadimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa “.. film dan televisi tidak semata-mata barang dagangan,tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi yang dapat menyumbangkan darmabaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.” Jadi, memang pengaruh film dahsyat buanget kan man ! Tetapi, salahkah mereka, pembuat film yang dicurigai sebagai “pencuci otak”, mempunyai kepentingan “menyebarkan ideologi sesat” dan “pembuat opini massa”? Mereka sekedar mencari uang atau boleh jadi memang mempunyai agenda tersembunyi untuk menyebarkan misi-misi tertentu. Anggaplah mereka sedang berupaya mencengkram kita-kita dengan menyihir lewat film dan televisi. Kalaupun mereka terbukti sedang memerangi kita , berdakwah agar propaganda mereka masuk kedalam relung hati kita dan akhirnya mengikuti opini mereka, apakah kita cukup puas dengan berteriak-teriak : ‘’jangan tonton film! Jangan tonton televisi! Please,dong!” Begitu? Mereka mungkin sedang melakukan aktivitas propaganda . Tapi, itu memang tugas mereka,gitu lho! Nah, tugas kita untuk fight back, kan? 1. (Lawan karya dengan karya! Film dengan film! Cerita bagus dengan cerita bagus!) Sebagai remaja, kita bisa membuat film. Banyak contohnya kok. Sekarang,gerakan film independen atau film indie sudh marak. Sudah banyak anak SMA bahkan SMP, yang mampu membuat film. Kalau mau langsung ke producktion house yang besar,atau ke layar lebar,kita bisa buat skenarionya dan kita tawarkan kepada para produser. Atau,paling tidak, kepada teman kita yang sutradara amatir dulu lah, sebagai langkah awal. 2. (Mengkritisi) Dengan cara media watch, semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengkritisi film dan televisi. Banyak contoh membuktikan, kontrol dari masyarakat terkadang lebih efektif daripada lembaga sensor manapun. Misalnya,ada film yang kita nilai buruk atau tidak sesuai dengan islam. Cukup kita buat tulisan dan kirim kepada media agar film itu tidak ditonton. Nah, untuk kita yang remaja, ada cara yang asyik. Kita bisa menikmati film, tapi tidak terjebak kedalam propaganda, malah mungkin bisa menemukan hikmah yang dapat memperkaya batin. Caranya : dengan apresiasi. Kalau kita menulis film itu, bisa jadi kita malah dapat honor. Penting, itu! Kita juga bisa membuat sensor terhadap diri sendiri. Istilah kerennya, self-censorship. Tetapi jangan berasumsi duluan, semua fillm Hollywood pasti tidak islami, atau setiap film buatan mesir pasti islami. Film-film Hollywood atau negeri Barat lainnya meskipun bukan orang islam yang membuatnya, sesungguhnya mengandung banyak kebaikan. Asalkan kita tidak sekedar menonton atau mencari hiburan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang akhirnya mencerahkan dan memperkaya batin kita. Bahkan bila perlu, menjadi inspirasi bagi kita untuk berbuat kebaikan lebih banyak lagi. Dengan pikiran yang kritis dan mengharapkan nilai lebih, kita dapat mendapatkan sesuatu seraya menghindari nilai-nilai yang kita anggap merusak. Kita siap menafsirkan film! Dengan apresiasi, atau malah ditindaklanjuti dengan menulis resensi dan kritik film, kita tidak saja mendapatkan keuntungan dengan menggali makna yang bermanfaat, tapi sekaligus menolak hal-hal yang tidak asik. Bahkan lebih dari itu, kita ikut berdakwah lewat tullis Referensi : Buku "Why not remaja doyan nonton?" -Ekky Al-Malaky

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page