top of page

Mozaik Perjalanan Panjang: Perempuan



"Perempuan dalam perjalanannya telah menembus batas ruang dan waktu, pemikirannya telah melampaui masanya. Banyak orang yang tidak mengetahui secara detail perjalanan panjang perjuangan perempuan. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami adalah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan betapa sulitnya menemukan peran perempuan dalam sejarah. Banyak dari sejarahwan menuliskan sejarah yang bersifat androcentric1. Peran perempuan dalam berbagai sektor serta keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan tidak dapat dipungkiri adanya. Bagaimanapun hilangnya perempuan dalam sebagian sejarah, namun realitas perjuangan, gerakan, karya, dan tulisan perempuan ada."

Perempuan adalah istilah yang berasal dari bahasa sansakerta, Per-empu-an = ahli. Jadi, dapat dikatakan bahwa perempuan adalah seorang ahli. Kedengarannya sedikit diskriminatif jika kita hanya membahas dari segi makna kata “Perempuan”. Dari segi Biologis, Seperti dikutip Kimura bahwa bagian belakang corpus callosum, area yang disebut splenium, lebih besar pada perempuan daripada laki-laki, sehingga interest padacorpus callosum timbul asumsi bahwa ukuran tersebut mengindikasikan jumlah serat yang berhubungan dengan kedua belah otak2. Banyaknya koneksi serat pada salah satu jenis kelamin implikasinya berkaitan dengan komunikasi antar belahan otak. Konon “serat-serat” yang menjembatani antar area di otak perempuan lebih tebal, dan para peneliti menyimpulkan bahwa perempuan memiliki kemampuan memadukan banyak aspek kognitif dalam berfikir bukan cuma rasio, emosi dan intusinya juga ikut rembuk3.


Kajian secara bahasa dan biologis sepertinya tidak cukup meyakinkan kita, maka disinilah kajian history dibutuhkan sebagai bahan pembanding. Sejauh ini sejarah yang khusus mengangkat peran perempuan sangat sedikit. Bahkan perempuan sendirilah yang acap kali berhasil menuliskannya. S.K Trimurti sang wartawan tiga zaman, Roehana Koeddoes, dan Germanie Greer seorang jurnalis perempuan asal Melbourne telah berhasil lewat tulisannya yang tajam menyoroti berbagai aspek kehidupan perempuan ke media. Dan tentu saja sampai hari ini perempuan tetap exist di sudut ruang-ruang profesi secara individu maupun kolektif. Fakta empirisnya dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari dimana sadar atau tidak, perempuan memiliki peran yang luas dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak dapat dipungkiri bahwa kaum adam pun turut andil didalamnya. Sejak dulu perempuan tidak hanya dikenal sebagai sebuah objek saja, entah sebagai objek sex, budak ataupun pengikut. Perempuan sudah menjadi subjek dalam kehidupannya sendiri maupun orang lain sejak lahir. Ketika terjadinya proses penyimpangan fungsional dan makna antara objek-subjek ini maka yang akan timbul adalah sebuah keinginan akan perubahan. Perubahan ini mengakibatkan sebuah usahaMovement. Alasan diataslah yang mempelopori gerakan perempuan Internasional maupun Transnasional. Cengkraman kolonialisme, imperialisme, nasionalisme dan rasisme yang mendorong sebuah pergerakan dan pemikiran atas hak-hak sebagai manusia bebas pun lahir dari para tokoh feminis dunia. Tokoh-tokoh feminis gelombang pertama waktu itu antara lain adalah perempuan Belanda Aletta Jacobs, perempuan Bangladesh Begum Rokeya, dan perempuan Indonesia Raden Ajeng Kartini. Mereka semua memperjuangkan hak-hak perempuan dan mengutuk batasan-batasan Patriarkal dan agamis kolot yang memenjarakan perempuan pada masa itu. Tiga dara tersebut bisa dikatakan sebagai seorang Nasionalis, namun nasionalisme muslimah Bangladesh, perempuan Ningrat Indonesia dan Wanita Belanda sangatlah berbeda.


Begum Rokeya Sakhawat Hossain lahir tahun 1880 di desa Pairaband, Bangladesh Utara, di keluarga muslim kaya dan kolot. Semua perempuan dalam keluarga itu harus menjalani purdah (pingitan) ketat, anak perempuan dikurung dirumah dan anak laki-laki dibebaskan bersekolah dan bermain. Rokeya belajar membaca dan menulis dari saudara laki-laki mereka dan ia mulai menulis beberapa essai pada 1905. Rokeya mendirikan sekolah-sekolah di bhagalapur dan kalkuta. Dia juga membentuk organisasi perempuan Anjuman-e-Khawatin-e-Islam, yang menyediakan pekerjaan untuk perempuan muslim miskin, terutama janda dan istri korban kekerasan dalam rumah tangga. Buku Rokeya tentang purdah yang penuh tragedi, ironi, sekaligus humor, diterbitkan dengan judul The Secluded Ones, menjadi buku yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan pola pikir perempuan pada saat itu. Rokeya juga tergabung dengan gerakan kebangkitan muslim Bangladesh dan sangat kritis terhadap Kolonialisme4. Ia meninggal tahun 1932. Raden Ajeng Kartini lahir tahun 1880, beberapa bulan setalah Rokeya. Ayahnya Bupati Jepara, seorang dari sedikit bangsawan progresif waktu itu yang mengirim anaknya sekolah ke Belanda supaya mereka bisa mencicipi pendidikan modern, kebijakan pendidikan kolonial Belanda pada waktu itu sangat kaku, sesuai dengan kebijakan kolonial Belanda yang memang rasis: hanya Bangsawan tinggi Jawa yang boleh berbicara menggunakan bahasa Belanda kepada pejabat tinggi kolonial Belanda5. Pada tahun 1903, Kartini dinikahkan dengan bupati rembang, menjadi isteri keempat. Kartini meninggal waktu melahirkan anak pertamanya, tahun 1904. Kartini mempunyai cita-cita untuk membangun sekolah pondokan untuk anak perempuan seperti dia, dan ia ingin mengambil ijasah guru di Belanda, namun hingga akhir hayatnya impian tersebut belum dapat ia wujudkan, namun surat-suratnya yang emosional, penuh pembrontakan, cerdas, dan hidupnya yang tragis terus membakar semangat perempuan-perempuan Indonesia.

Aletta Jacobs lahir tahun 1854 di sebuah desa kecil provinsi Groningen, bagian utara Belanda. Ayah dan kakanya berprofesi sebagai Dokter. Aletta menjadi perempuan pertama yang menyelesaikan pedidikan sarjana dan paca sarjan di belanda. Ia juga menjadi Dokter perempuan pertama. Selain menjadi pelopor gerakan menuntut pendidikan bagi perempuan, Aletta juga menjadi perempuan pertama yang menuntut haknya untuk memilih. Pada waktu itu hanya laki-laki saja yang punya hak untuk meilih di belanda. Selain memperjuangkan pendidikan bagi perempuan dan hak memilih perempuan, Aletta juga mendukung ide kontrasepsi dan menolak penertiban pelacuran (perempuan) : “Negara yang beradab tidak seharusnya mengijinkan pasar budak maupun rumah bordil” 6. Pemberdayaan dan Pembebasan Perempuan memberdayakan dirinya sendiri dan orang lain. Mengamalkan apa yang dimilikinya untuk masyrakat. Ingatkah kita dengan Dewi Sartika perempuan kelahiran 4 Desember 1884, salah satu pahlawan yang sering disebutkan namanya dalam pelajaran sejarah di bangku sekolah. Perjuangannya memberdayakan anak-anak bangsa dengan membangun sebuah sekolah, mengajarkan kaum perempuan membaca, menghitung, menjahit, memasak serta keterampilan lainnya. Sejak tahun 1902 Dewi Sartika merintits pendidikan untuk kaum perempuan pertama se-Hindia-Belanda.

Pembebasan atas kemiskinan, pembebasan atas kebodohan, pembebasan atas sebuah penindasan gender dan pembebasan perbudakan. Sebagai manusia yang bebas dan dilindungi oleh undang-undang kita harus bisa berupaya untuk melakukan pembebasan, seperti Dewi Sartika yang berjuang membebaskan anak-anak bangsa dari pembodohan karena kebodohan mengantarkan pada kemiskinan. Kebebasan bukalah sebuah teori namun terapan.


Dalam konteks generalisanya perjalanan panjang perempuan ini di dorong oleh sebuah penindasan fisik maupun pikiran dan diskriminasi gender. Kompleksifitas permasalahan semakin bercabang dengan muculnya kolonialisme dan rasisme. Hari ini, dimana semua manusia bebas berbicara dan masalah gender tidak diperdebatkan lagi, apakah menjadi indikator atas hilangnya sebuah masalah-masalah yang akan diperjuangkan??

Menurut saya, di Era Demokrasi ini masalah Hak Asasi Manusia lah yang harus diperhatikan dan diperjuangkan. Isu Trafiking, Pemerkosaan, dan Kekerasan tidak bisa dilepaskan dari perempuan dan anak. Sebagai Ibu, sebagai salah satu mata rantai dan sebagai korban itu sendiri. Perempuan dan anak memang selalu menjadi kelompok minoritas dan warga negara kelas dua. Plato pernah menyebutkan bahwa perempuan sama halnya dengan budak dan anak-anak. Dia hanya objek bagi seksualitas laki-laki, dan perbudakan itu dari dulu hingga sekarang masih tetap ada, dan muncul dalam dimensi baru.


Seperti halnya pada Piagam PBB, Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia pada awalnya juga dikonsepkan dengan frasa “all men” untuk menyebutkan umat manusia. Namun timbulnya kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan harus dijelaskan secara eksplisit dalam hak asasi manusia maka frasa “all men” diubah menjadi “all human being”. Kita harus sadar bahwa deklarasi umum Hak Asasi Manusia adalah Basis standar untuk perlindungan hak asasi setiap warga dunia. Maka hak-hak asasi perempuan, dan anak harus di tulis secara eksplisit sebagai perlindungan secara legislasi.

Advokasi dan Legislasi tidaklah cukup. Hari kartini, Hari Ibu, dan Hari Perempuan Internasional tidaklah mewakili. Gerakan perempuan pun masih berputar dikalangan perempuan perkotaan dan terdidik. Maka yang terpenting adalah usaha-usaha pemberdayaan perempuan yang bersifat massal sampai menyentuh segala tingkatan dan strata. Di tangan perempuan terdapat peluang-peluang yang bila mereka manfaatkan ataupun menyalahgunakannya berpengaruh pada kehidupan politik negara, dan pengaruhnya itu, baik yang positif ataupun negatif, akan membentangkan jalan abad-abad yang belum lahir”--Frances E.W. Harper Catatan:


  1. Berpusat kepada kegiatan kaum laki-laki saja.

  2. Doreen Kimura, “Sex Differences In the Brain”, Scientific American, September 1992, hal.85.

  3. Rani Rachmani Moediarta, “Otak Kita, Keunggulan Kita”, Femina XXVII (23), 17-23 Juni 1999, hal. 27

  4. Sonia Amin, “Empire, Resistance and Gender: Rokeya Sakhawat Hossein’s Anti Colonial Allegory” dalam Niaz Zaman, Fisdous Azim, Saskia E. Wieringa, & Shwakat Hussain (ed.), Colonial and post-colonial encounters, The University Press, Dhaka, 1999.

  5. Saskia E. Wieringa, “Femisnisme Transnasional, Pelajaran Gelombang Pertama”, Jurnal Perempuan 52, hal. 91.

  6. Aletta Jacobs, Herinneringen, Sun, Nijmegen, 1985 (cetakan pertama 1924). Diterjemahkan oleh Annie Wright sebagai My life as an International Leader in Health, Suffrage, and Peace, The Feminist Press, New York, 1996, hlm. 41.

· Mohon maaf jika terdapat kesalahan bahasa maupun penulisan. · Kata-kata yang dikutip telah penulis dokumentasikan dalam sebuah catatan. · Terima kasih telah membca tulisan ini, semoga bermanfaat.

Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Archive
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page