Eksistensi Budaya Tionghoa dan Agama Khonghucu di Indonesia
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) didirikan pada tanggal 20 April 1975 atas inisiatif Ibu Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto atau lebih dikenal dengan sebutan Ibu Tien Soeharto. Dengan tujuan untuk memperkenalkan kekayaan alam dan budaya indonesia dalam wujud mini. Di dalam TMII digambarkan seluruh keragaman Indonesia, mulai dari Keragaman Budaya, Agama, Hewani dan Hayati. Berbagai Anjungan Budaya, Rumah Ibadat, Miniatur Teknologi, Museum, dan Kekayaan alam Indonesia ditampilkan di TMII Indonesia sebagai bangsa yang pluralisme yang memiliki keanekaragaman budaya dan agama, menuntut masyarakat yang saling menghargai keyakinan masing-masing. Penduduk Indonesia terdiri dari masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang, salah satu masyarakat pendatang yang memiliki populasi cukup dominan di Indonesia, sebagian besar berasal dari Negeri Cina yang identik dengan kebudayaan Tionghoa dan Agama Khonghucunya. Selain budaya-budaya asli leluhur, bangsa Indonesia kini pun menerima kehadiran masyarakat Tionghoa dan agama Khonghucu di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan beragama yang berasakan pancasila setalah zaman orde baru. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya Taman Budaya Tionghoa dan Klenteng “Kong Miao” di dalam Taman Mini Indonesia Indah.
Taman Budaya Tionghoa yang berada disamping Museum Prangko TMII di resmikan oleh H.M Soeharto selaku Ketua umum yayasan Harapan kita, pada 8 November 2006. taman budaya tionghoa ini terdiri dari 5 koridor utama dibagian depan, dan terdapat 5 bangunan khas tionghoa yang terdiri dari : Paguyuban sosial marga Tionghoa, aula budi luhur, wisma budaya marga Zhou, wisma budaya Wu. Selain bangunan tersebut Taman Budaya Tionghoa ini memanjakan pengunjung dengan hadirnya monumen cerita rakyat warga tionghoa seperti monumen Kera sakti dan monumen Sampek Engtay. Sejarah dan budaya tionghoa terpelihara lebih dari 500 tahun, banyak diantaranya mempunyai makna yang dalam dan luhur serta perlu dikenal dan dilestarikan, antara lain tentang hikayat Kera sakti (Sunggokhong) dengan 2 kawan lainnya (cup pak kai dan sacun) yang meengantar pendeta Tang Cen menuju barat/india untuk mengambil kitab suci Buddha. Selain legenda Sunggokong ada juga cerita rakyat mengenai legenda Sampek Engtay. Legenda Asmara ini (Sampek Engtay) terjadi di Tiongkok pada Dinasti Chin dan beredar dalam masyarakat lebih dari 1460 tahun silam. Legenda ini juga sangat populer dalam masyarakat Indonesia sampai sekarang. Konon pada Dinasti Chin seorang pemuda pelajar Lian Sampek berkenalan dengan seorang gadis Engtay yang menyamar sebagai laki-laki dan mereka bersekolah bersama, hubungan mereka sangat akrab dan mendalam serta mereka mengikat diri sebagai saudara. Tiga tahun kemudian setelah selesai sekolah, engtay pulang kerumah dan Sampek mengantarkannya sejauh 9 Km, rasanya sangat berat sekali bagi Sampek dan Engtay untuk berpisah satu sama lain. Akhirnya setelah lama bersama akhirnya keluarga sampek melamar Chu Engtay namun lamaranya ditolak oleh keluarga engtay. Sampek sangat terpukul dan sedih sehingga ia pun sakit dan akhirnya meninggal. Konon ketika engtay ingin dijodohkan oleh Ma, Engtay pergi sembahyang ke makam sampek dengan penuh kedukaan yang pada akhirnya menyebabkan langit gelap, angin ribut dan halilintar. Makam sampek terbelah dan engtay melompat ke dalam makam, setelah itu mereka berdua Sampek dan Engtay berubanh menjadi sepasang Kupu-Kupu yang hidup abadi bersama. Dalam Kebudayaan Tionghoa diyakini legenda-legenda seperti yang telah dipaparkan diatas, namun sebenarnya legenda tersebut bersifat fiktif atau bisa disebut sebagai cerita rakyat yang turun menurun dari leluhur mereka. Cerita Rakyat ini dituliskan dalam Monumen di taman Kebudayaan Tionghoa, sehingga siapapun yang berkunjung ke taman ini dapat melihat langsung objek tokoh dalam cerita rakyat Tionghoa. Taman Mini Indonesia Indah juga menghadirkan miniatur rumah ibadat agama yang dipeluk penduduk Indonesia dalam satu area khusus secara berantai : Masjid, Gereja Katholik, Gereja kristen, Pura, Vihara (Klenteng), dan Sasana Adirasa. Salah satu rumah ibadat yang menarik perhatian saya adalah Klenteng Kong Miao. Pada 2 Februari 2009, mulailah dilakukan pembangunan Klenteng Kong Miao atau rumah ibadat agama Khonghucu, yang terdiri atas Tian Tan, Da Cheng Dian dan Qi fu dian. Peletakan batu pertama dilakukan oleh menteri agama republik Indonesia, Dr. H.M. Maftuh Basyuni. Peresmian dilakukan pada tanggal 23 Desember 2010. Sebagaimana layaknya Kelenteng, Kong Miao juga dilengkapi tempat pembakaran hioswa, pintu gerbang, dll. Di halaman Kong Miao terdapat sepasang Singa, Pintu Gerbang, Sepasang Naga, Kilin, Patung 12 Shio, kura-kura Kepala Naga dsb. Setiap bangunan yang berada di Klenteng “Kong Miao” memiliki filosofinya masing-masing. Rini yang telah menjadi staff Klenteng Kong Miao selama 1 tahun ini menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan di Klenteng Kong Miao. “Klenteng ini dijadikan tempat ibadah untuk penganut khonguchu, biasanya umat khonghucu beribadah rutin setiap tanggal 1 dan 15 pada kalender khonghucu, dan masyarakat umum ramai beribadah pada hari sabtu dan minggu”. Tuturnya ketika ditemui diruangan staff Klenteng Kong Miao. Di Indonesia khonghucu dianggap sebagai sebuah keyakinan. Namun sebenarnya, khonghucu itu sendiri adalah sebagai pendidikan dasar di negeri cina yang wajib dipelajari oleh semua warganya. Khonghucu sebagai sebuah agama dan tionghoa sebagai sebuah Budaya, keduanya tidak bisa disejajarkan dalam satu garis lurus, karena sebuah Agama dan Culture memiliki arti dan makna yang berbeda, keduanya tidak bisa disandingkan dalam satu panggung kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun demikian hadirnya budaya Tionghoa dan Agama Khonghucu di Indonesia menambah warna kebhinekaan Indonesia.